Kendala Perizinan
"Kendala perizinan" adalah dua kata yang menjadi “momok” seluruh supporter Indonesia, tidak terkecuali The Jakmania. Kendala perizinan seringkali disebabkan oleh berbagai faktor salah satunya “pesta politik”. Ibukota negara, DKI Jakarta adalah salah satu kota yang paling sering terkena imbasnya namun hal itu mungkin dapat dimaklumi jika kita melihat status Jakarta sendiri yang merupakan Ibukota Negara yang mendapat sorotan penuh baik nasional maupun dunia internasional khususnya geliat politik yang ada di Ibukota negara, DKI Jakarta. Namun apa jadinya jika “pesta politik” di Ibukota negara telah usai namun kendala perizinan masih berlanjut, tentu yang terbesit di kepala kita adalah pertanyaan ada apa lagi? dan jawaban yang paling sering di dapat adalah “keamanan lokal”. Keamanan lokal merupakan sebuah tugas dari kepolisian pasca berpisah dari TNI tetapi apa jadinya jika jawaban “keamanan” tersebut bertolak dari masa lalu, tentu yang menjadi korbannya adalah kesempatan tetapi kesempatan seperti apa?
Jak, ada kau dengar baiklah. Kesempatan itu adalah kesempatan untuk memperbaiki diri. Kesemptan memperbaiki diri salah satunya adalah upaya untuk memperbaiki anggapan umum yang jatuh dari masyarakat kepada seorang individu, kelompok maupun organisasi, termasuk The Jak yang tergabung dalam organisasi The Jakmania maupun The Jak yang tidak tergabung (secara individu). Terbesit dalam pikiran saya apakah kesempatan untuk memperbaiki diri dari anggapan umum adalah suatu yang “Tabu” khususnya di ibukota negara atau memperbaiki diri dari anggapan umum adalah mutlak tidak bisa diperbaiki di ibukota negara.
Jika hal yang demikian memang benar nyatanya yang sedang terjadi, Amboyy…, sungguh hidup manusia tidak mempunyai kesempatan, Hei.. bukankah setiap manusia secara individu, kelompok maupun oraganisasi sama di hadapan hukum dan layak mempunyai kesempatan untuk memperbaiki dirinya dari anggapan umum dalam kehidupan bernegara, termasuk di ibukota negra maupun lingkup yang lebih kecil seperti sepakbola.
Mari kita berkaca pada peristiwa Mei (1998) siapa yang diberi kesempatan untuk memperbaiki diri dari anggapan umum. Ya salah satunya adalah institusi kepolisian dan pemerintah (baik lokal maunpun nasional) lalu siapa yang memberikan kesempatan itu, yang memberikan kesempatan itu adalah seluruh WNI, termasuk pencinta sepakbola, tidak terkecuali. Tahun-tahun pun berlanjut, sekarang ketika negara ini sedang di mabuk demokrasi, dan anggapan umum sedang gencar-gencarnya akibat kemajuan komunikasi, tiba-tiba kita dihadapkan kepada situasi seolah-olah “terbalik”, anggapan umum seolah-olah harus terbentur “surat sakti” pintu institusi yang dahulu justru kita berikan kesempatan untuk memperbaiki diri dari anggapan umum. Jika hal yang demikian terjadi tentu anggapan umum yang ada pada masayarakat akan tetap bertolak pada dosa masa lalu kita dan “diamnesiakan” pada masa depan kita.
Janganlah menggeneralisasi supporter sepak bola kedalam suatu kesimpulan yang sempit terlebih hal itu berdasar pada dosa masa lalu atau dosa beberapa supporter. Jika hal tersebut dilakukan maka yang terjadi adalah matinya hak kemanusiaan seseorang, kelompok maupun organisasi untuk memberbaiki citranya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara secara luas.
Dahulu dalam ilmu sosiologi diajarkan oleh saya bahwa dalam kehidupan sosial termasuk bernegara akan ada Reward and Punishment. Reward (penghargaan) diberikan jika kita melakukan hal yang terbaik bagi lingkungan sosial dan Punishment (hukuman mutlak) adalah langkah terakhir jika kita melakukan hal yang buruk bagi lingkungan sosial, lalu dimana letak “kendala perizinan” yang berdasar pada phobia masa depan itu?. Secara langsung itu terletak pada Punishment, mengapa?, karena dengan tidak memberikan izin dalam menyaksikan pertandingan sepakbola berarti usaha seorang individu, kelompok maupun organisasi untuk memperbaiki dirinya dari anggapan umum secara langsung dicabut, padahal usaha tersebut bertujuan untuk mendapatkan reward dari lingkungan sosial guna mendapatkan anggapan umum yang lebih baik dan langkah memperbaiki diri untuk menatap masa depan yang lebih baik dan bagaimana bisa dilakukan jika ketika usaha tersebut akan dilakukan tiba-tiba telah diberikan punishment akibat phobia masa lalu tanpa menoleh masa depan.
Tapi patut diingat kita tidak akan mundur selangkah pun. Kita tidak akan mundur satu sentimeter pun akibat punishment yang diberikan oleh salah satu institusi itu. Kita akan menyingkirkan luapan emosi akibat “kendala perizinan” tersebut dengan sebuah tindakan yang lebih agung lagi tempatnya. Tindakan yang Lebih agung itu yaitu bertindak lebih arif dibanding “orang-orang” yang mengatakan bahwa dirinya bersifat “arif”, Bagaimana caranya?, caranya adalah dengan melakukan hal-hal yang bersifat mendidik dan positif yang nyata amat banyak, dapat dikerasikan dan bisa dicontoh oleh semua pihak termasuk bangsa Indonesia.
Dengan melakukan hal yang positif demikian itu kita sudah sebaik-baiknya melawan dibandingkan orang-orang yang mengatakan dirinya lebih ”arif” daripada kita. Dibandingkan melakukan tindakan yang Vandalis, Anarkis, atau yang lebih tidak beradab lagi yaitu Rasisime karena tindakan-tindakan seperti itu hanyalah tindakan manusia yang berjiwa kriminal dan akan menambah anggapan buruk dari umum.
Jak, ada kau dengar baiklah. Kesempatan itu adalah kesempatan untuk memperbaiki diri. Kesemptan memperbaiki diri salah satunya adalah upaya untuk memperbaiki anggapan umum yang jatuh dari masyarakat kepada seorang individu, kelompok maupun organisasi, termasuk The Jak yang tergabung dalam organisasi The Jakmania maupun The Jak yang tidak tergabung (secara individu). Terbesit dalam pikiran saya apakah kesempatan untuk memperbaiki diri dari anggapan umum adalah suatu yang “Tabu” khususnya di ibukota negara atau memperbaiki diri dari anggapan umum adalah mutlak tidak bisa diperbaiki di ibukota negara.
Jika hal yang demikian memang benar nyatanya yang sedang terjadi, Amboyy…, sungguh hidup manusia tidak mempunyai kesempatan, Hei.. bukankah setiap manusia secara individu, kelompok maupun oraganisasi sama di hadapan hukum dan layak mempunyai kesempatan untuk memperbaiki dirinya dari anggapan umum dalam kehidupan bernegara, termasuk di ibukota negra maupun lingkup yang lebih kecil seperti sepakbola.
Mari kita berkaca pada peristiwa Mei (1998) siapa yang diberi kesempatan untuk memperbaiki diri dari anggapan umum. Ya salah satunya adalah institusi kepolisian dan pemerintah (baik lokal maunpun nasional) lalu siapa yang memberikan kesempatan itu, yang memberikan kesempatan itu adalah seluruh WNI, termasuk pencinta sepakbola, tidak terkecuali. Tahun-tahun pun berlanjut, sekarang ketika negara ini sedang di mabuk demokrasi, dan anggapan umum sedang gencar-gencarnya akibat kemajuan komunikasi, tiba-tiba kita dihadapkan kepada situasi seolah-olah “terbalik”, anggapan umum seolah-olah harus terbentur “surat sakti” pintu institusi yang dahulu justru kita berikan kesempatan untuk memperbaiki diri dari anggapan umum. Jika hal yang demikian terjadi tentu anggapan umum yang ada pada masayarakat akan tetap bertolak pada dosa masa lalu kita dan “diamnesiakan” pada masa depan kita.
Janganlah menggeneralisasi supporter sepak bola kedalam suatu kesimpulan yang sempit terlebih hal itu berdasar pada dosa masa lalu atau dosa beberapa supporter. Jika hal tersebut dilakukan maka yang terjadi adalah matinya hak kemanusiaan seseorang, kelompok maupun organisasi untuk memberbaiki citranya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara secara luas.
Dahulu dalam ilmu sosiologi diajarkan oleh saya bahwa dalam kehidupan sosial termasuk bernegara akan ada Reward and Punishment. Reward (penghargaan) diberikan jika kita melakukan hal yang terbaik bagi lingkungan sosial dan Punishment (hukuman mutlak) adalah langkah terakhir jika kita melakukan hal yang buruk bagi lingkungan sosial, lalu dimana letak “kendala perizinan” yang berdasar pada phobia masa depan itu?. Secara langsung itu terletak pada Punishment, mengapa?, karena dengan tidak memberikan izin dalam menyaksikan pertandingan sepakbola berarti usaha seorang individu, kelompok maupun organisasi untuk memperbaiki dirinya dari anggapan umum secara langsung dicabut, padahal usaha tersebut bertujuan untuk mendapatkan reward dari lingkungan sosial guna mendapatkan anggapan umum yang lebih baik dan langkah memperbaiki diri untuk menatap masa depan yang lebih baik dan bagaimana bisa dilakukan jika ketika usaha tersebut akan dilakukan tiba-tiba telah diberikan punishment akibat phobia masa lalu tanpa menoleh masa depan.
Tapi patut diingat kita tidak akan mundur selangkah pun. Kita tidak akan mundur satu sentimeter pun akibat punishment yang diberikan oleh salah satu institusi itu. Kita akan menyingkirkan luapan emosi akibat “kendala perizinan” tersebut dengan sebuah tindakan yang lebih agung lagi tempatnya. Tindakan yang Lebih agung itu yaitu bertindak lebih arif dibanding “orang-orang” yang mengatakan bahwa dirinya bersifat “arif”, Bagaimana caranya?, caranya adalah dengan melakukan hal-hal yang bersifat mendidik dan positif yang nyata amat banyak, dapat dikerasikan dan bisa dicontoh oleh semua pihak termasuk bangsa Indonesia.
Dengan melakukan hal yang positif demikian itu kita sudah sebaik-baiknya melawan dibandingkan orang-orang yang mengatakan dirinya lebih ”arif” daripada kita. Dibandingkan melakukan tindakan yang Vandalis, Anarkis, atau yang lebih tidak beradab lagi yaitu Rasisime karena tindakan-tindakan seperti itu hanyalah tindakan manusia yang berjiwa kriminal dan akan menambah anggapan buruk dari umum.
Salam Jempol Telunjuk.
Long Live Persija
Just Make A Good Supporter
No Vandalis, No Anarkis, and No Rasisime
No Vandalis, No Anarkis, and No Rasisime
0 komentar:
Posting Komentar